Pakar politik dan masyarakat Indonesia kontemporer asalĀ Australia, Ian Wilson, mengungkapkan perbedaan preman dan premanisme di RI yang belakangan menjadi sorotan.
Beberapa hari terakhir, sejumlah anggota ormas melakukan tindakan premanisme dari mulai memalak, memeras, hingga mengganggu investasi.
“Mungkin bisa kembali ke pemahaman normatif itu yang punya masyarakat di Indonesia pada umumnya. Seperti saya katakan, bisa tanya siapapun di Indonesia, wah ini preman, itu premanisme, orang paham itu,” kata Wilson saat wawancara khusus, Kamis (15/5).
Orang-orang di Indonesia, lanjut dia, bisa saja berpikir preman itu adalah orang yang di pinggir jalan, tak punya pekerjaan, mengandalkan kerja informal, untuk mencari makan atau bertahan hidup. Namun, hal tersebut berbeda dengan premanisme.
Premanisme melibatkan tindakan pemerasan, pungli, pemaksaan, hingga mengganggu keamanan dan kebebasan warga sipil.
Wilson menekankan mayoritas Ormas sebetulnya tak ada hubungan sama sekali dengan tindakan premanisme, hanya beberapa yang melakukannya.
“Dan sebenarnya yang menjadi masalah adalah perilaku-perilaku orang di bawah naungan organisasi masyarakat yang punya gaya militer. Misalnya militer punya konsep kewilayahan yang mencerminkan seperti sistem teritorial tentara dan sebagainya,” kata Wilson.
Di masa Orde Baru, militer punya sistem kewilayahan bahkan hingga tingkat kecamatan seperti Koramil untuk mendukung kekuasaan saat itu.
Rezim saat itu disebut memiliki relasi dan merangkul ormas, kelompok non-pemerintah, untuk menopang kekuasaan. Singkatnya, negara mengkooptasi kelompok-kelompok tersebut.
“Dari dahulu itu yang digunakan untuk melegitimasi mobilisasi masyarakat sipil dalam rangka menghormati dan sebagainya untuk keamanan atau saya katakan atas nama keamanan,” ujar Wilson.
Namun, hal tersebut menjadi kontradiksi karena kelompok yang menjadi bagian dari keamanan melakukan tindakan premanisme atas nama keamanan.
“Makanya ada organisasi yang perilakunya memalak, memeras, mengancam bisnis dan sebagainya. Itu malah selalu punya wacana mereka ikut melayani memberi keamanan dan sebagainya. Jadi itu relasi di sana yang saya sebut bagian dari premanisme. Bukan yang tukang parkir liar dan sebagainya,” ujar Wilson.
Dalam buku Politik Jatah Preman, Wilson menulis sepanjang sejarah modern Indonesia, negara kerap mengandalkan spesialis kekerasan non-negara dan preman-preman setempat yang membentuk bagian dari jejaring sub kontrak yang luas atas kontrol sosial dan politik.
Wilson juga mengutip L Ryter yang menyebut sampai 1980-an kata preman merujuk secara khusus ke perwira militer tanpa seragam. Namun, seiring waktu semakin berkonotasi kriminalitas, yang mencerminkan pemahaman perpaduan kekerasan publik dan privat.